Friday, October 17, 2008

Tugas Menterjemahkan Ke dalam Bahasa Inggris Untuk Kelas 2 NA dan TI 2008.

Dari semua negara yang terpengaruh oleh krisis ekonomi 1997, Indonesia merupakan salah
satu negara yang paling terpukul dan juga menderita sebagian konsekuensi yang berdampak
paling besar. Di negara-negara lain, misalnya Malaysia dan Korea Selatan, pemerintah berhasil menstabilkan perekonomian menyusul kombinasi penerapan kebijakan yang tradisional(Korea Selatan memangkas pengeluaran negaranya) dengan kebijakan yang controversial (Malaysia mengendalikan nilai tukar mata uangnya). Namun di Indonesia, krisis ekonomi lebih dari sekadar ketidakseimbangan dalam fundamental perekonomian. Sebaliknya, krisis itu mengungkapkan kelemahan mendasar negara Indonesia.
Pembangunan Indonesia berlangsung di bawah pemerintahan otoriter yang kuat yang didukung oleh elit pembangunan yang kapitalis, kroni pemerintah berkuasa. Semua lembaga
negara ditekan untuk melayani kepentingan kaum elit, ketimbang bertindak sebagai badan yang independen dengan peraturan dan fungsi masing-masing. Badan regulator yang dapat memeriksa pelanggaran keuangan atau hukum ditekan sedemikian rupa sampai kekuasaan hukum praktis lenyap. Dengan munculnya krisis moneter, perekonomian nasional tak dapat berlindung lebih lama lagi dari realita di dunia internasional, sehingga kelemahan perekonomian Indonesia yang sebenarnya pun terkuak. Rupiah Indonesia kehilangan delapan puluh persen nilainya terhadap dolar (membuat dunia usaha tidak mampu melunasi utang mereka dalam dolar), nilai aset perusahaan hancur dalam sekejap, dan hampir semua perusahaan harus menanggung nilai ekuitas yang negatif. Kolapsnya perekonomian merupakan katalisator bagi kejatuhan rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa di Indonesia selama lebih dari tiga puluh tahun. Dengan tergulingnya rezim tersebut, hancur pula legitimasi elit politik, birokrat, hukum, bisnis dan militer. Karena itu, di tengah terpuruknya perekonomian, Indonesia juga harus menjalani transisi untuk mendirikan pemerintahan yang lebih demokratis atas dasar kekuasaan hukum. Namun dengan terbongkarnya kelemahan-kelemahan negara, membangun kembali tata kelola di Indonesia, atau mencoba mengendalikan aparat pemerintah yang tidak puas maupun daerah yang bergolak kini menjadi jauh lebih sulit untuk dilakukan.
Kurangnya kepercayaan terhadap Indonesia belakangan ini merupakan fenomena nasional dan internasional. Salah satu indikatornya adalah kemerosotan investasi di Indonesia. Pada tahun 2001, investasi asing langsung tercatat sebesar US$15 miliar; memasuki tahun 2002, angka itu menurun menjadi kurang lebih US$9,7 miliar. Persetujuan bagi investasi dalam negeri anjlok sebesar 57%, jatuh dari Rp.58,62 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp.25,26 triliun pada tahun 2002 (‘FDI Plunged,’ 2003). Namun angka-angka ini tidak mampu menunjukkan realita situasi di lapangan. Selain mengindikasikan rendahnya pembangunan baru, yang dampaknya meluas ke lapangan pekerjaan dan peluang untuk meraih kesejahteraan bagi rakyat banyak, data-data tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada dana segar yang ditanamkan ke dalam perusahaan-perusahaan yang sudah berdiri agar dapat menjadi lebih kompetitif dan lebih mampu memenuhi permintaan di masa depan. Bahkan ada kekhawatiran bahwa Indonesia akan mengalami deindustrialisasi di tahun-tahun mendatang – dengan hanya industri ekstraktif (yaitu pertambangan, minyak dan gas) yang tetap dapat menarik minat negara-negara lain. Kesulitan-kesulitan ekonomi tersebut tercermin dalam figur PDB Indonesia dan terlihat dengan jelas ketika kita membandingkan PDB pada harga dasar dari tahun ke tahun sejak 1993 (seperti yang terlihat dalam Tabel 1). Kelemahan ekonomi ini amat merugikan bagi sebuah perekonomian yang perlu menciptakan lebih dari 2 juta pekerjaan baru setiap tahunnya hanya agar dapat menyerap pencari kerja baru. Hal kebutuhan ini diperkuat dengan fakta bahwa pasar tenaga kerja tumbuh dari sedikit di bawah 81 juta orang pada tahun 1993 (Kementerian Komunikasi dan Informasi, 1999) menjadi 97,6 juta orang pada akhir 2000 (Witular, 2002). Sementara data sosioekonomi lain menyoroti dalamnya dampak krisis ekonomi. Contohnya, pada awal krisis, meski enam puluh persen penduduk masih tinggal di daerah pedesaan dan bekerja di sektor pertanian, dua pertiga dari empat puluh persen sisanya bekerja di sektor formal – di kantor, pabrik atau institusi pemerintah. Kendati demikian, dengan banyaknya tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, komposisi ini kemudian berbalik. Banyak penganggur baru yang kemudian harus mencari jalan lain untuk mencari nafkah, dan sejak tahun 1997, sektor informal tumbuh hingga mampu menyerap tujuh puluh persen penduduk yang bekerja bukan di sektor pertanian. Banyak penganggur juga terpaksa kembali ke kampung halaman dan desanya untuk bekerja sebagai buruh lepas atau untuk kembali mengolah lahannya (sehingga kian memperburuk kemiskinan di pedesaan). (RR: 2003) My email djunel_os@yahoo.com